Sektor tambang selain batubara dan minyak bumi mungkin tampak kurang menarik di mata kebanyakan para pemain saham di Indonesia. Bagi saya sendiri bahkan terkadang "lupa" bahwa di IHSG ada banyak emiten lain yang juga tergolong sektor tambang selain batubara. Memang sejak dulu emiten-emiten saham batubara lebih diminati, ketika harga batubara memulai tren naik, maka para investor dan trader tanpa dikomando segera memburu emiten-emiten batubara, ketika harga batubara mulai turun, para investor segera berbondong-bondong angkat kaki. Mungkin karena jamak tertanam dibenak para investor dan trader bahwa bisnis batubara bisa dibilang bisnis paling "mudah" dari segi pengolahan, tidak perlu banyak proses yang membutuhkan bahan baku lain yang diperoleh dari pasar domestik atau bahkan diimpor dari luar.
Salah satu bisnis tambang yang mungkin agak terpinggirkan tapi sebenarnya sedang memiliki prospek yang cerah adalah Bauksit. Hal ini karena alumunium yang bahan bakunya bauksit, harganya sedang dalam tren naik, bahkan lebih dulu memulai tren kenaikannya dibandingkan batubara. Puncaknya pada agustus 2017 lalu dimana harga acuan alumunium di London Metal Exchange tembus $2000 per ton, dan hingga sekarang harganya stabil antara $2000-$2500 per ton.
Mungkin salah satu penyebab kenapa perusahaan-perusahaan tambang bauksit ini terlupakan adalah karena aturan "keras" dari pemerintah yang pada 2014 lalu melarang ekspor komoditas mentah apapun. Jadi perusahaan tambang harus membuat smelter (pengolahan) di dalam negeri terlebih dahulu untuk meningkatkan nilai tambah komoditas yang dimilikinya, baru kemudian bisa diekspor ke luar negeri. Tapi pada saat itu, aturan ini terlihat seperti agak berat sebelah, karena tambang lain seperti emas dan tembaga yang diekspor oleh Freeport dan Newmont, walaupun terjadi tarik-ulur tapi tetap bisa diekspor, sedangkan tambang bauksit berhenti total karena tidak diperbolehkan ekspor sama sekali sehingga suka tidak suka perusahaan yang memiliki IUP (Izin Usaha Pertambangan) bauksit harus investasi untuk membangun pabrik smelter sendiri dan kalau gak bisa bangun ya berhenti menambang bauksit. Dan sayangnya, biaya yang diperlukan untuk membuat smelter ini tidak tanggung-tanggung mahalnya sehingga banyak perusahaan tambang bauksit yang "menyerah". Bagi perusahaan yang manajemennya gesit, maka perusahaan mencoba mencari-cari investor lain yang tertarik untuk membangun smelter di Indonesia.
Daaan, CITA (Cita Mineral Investindo Tbk) ini termasuk salah satu yang cukup beruntung memiliki dana yang cukup untuk melakukan investasi dalam pembangunan smelter, meskipun harus joint venture dengan investor dari China (China Hongqiao Group Ltd). Hasilnya, pada 2013 direncanakanlah pembangunan smelter di Kalimantan Barat dengan membentuk PT. Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW) dimana akhirnya WHW ini baru mulai beroperasi pada 2016 lalu. Walaupun joint venture dan hanya memiliki HWH sebesar 30% (70% sisanya dimiliki oleh beberapa perusahaan tambang alumunium dari China dengan China Hongqiao Group Ltd sebagai pemegang saham pengendali WHW), tapi dengan beroperasinya HWH ini maka pundi-pundi pendapatan bisnis CITA mulai mengalir deras lagi karena beberapa hal.
Pertama, bauksit yang ditambang oleh CITA akhirnya dapat dijual dan diserap seluruhnya oleh WHW untuk kemudian diolah menjadi Smelter Grade Alumina (SGA) yang merupakan bahan baku utama dalam pembuatan logam Alumunium (yang dipasaran dijual dengan harga $2000an per ton tadi).
Kedua, SGA yang tadi dihasilkan oleh WHW tidak hanya dijual untuk kebutuhan dalam negeri, tapi diekspor terutama ke China sebagai bahan baku pengolahan oleh China Hongqiao Ltd dimana perusahaan ini merupakan perusahaan produsen alumunium terbesar di Tiongkok. Dan layanan logistik pengangkutannya dilakukan oleh Winning Investment Company Ltd, dimana perusahaan ini juga merupakan pemegang saham WHW sebesar 9%. Jadi bisa dibilang, joint venture ini saling menguntungkan bagi masing-masing pemegang sahamnya, karena memperbaiki rantai pasok bisnis inti mereka sendiri.
Ketiga, pada 2017 lalu, pemerintah mulai mengendorkan larangan ekspor bauksit mentah tadi, dimana bauksit boleh diekspor walaupun harus sedikit diolah terlebih dahulu menjadi washed bauksit, atau bahasa kerennya Metallurgical Grade Bauxite (MGB) yang prosesnya gak susah-susah amat. Bauksit yang telah ditambang cukup dihancurkan (crushing), dicuci (washing), kemudian dikeringkan (solar drying). Dan karena peraturan ini, CITA sendiri pada oktober 2017 lalu mendapatkan izin persetujuan ekspor washed bauxite ini dengan kuota 3,5 Juta ton dimana akhirnya hal ini sangat membantu peningkatan pendapatan perusahaan walaupun baru dilakukan di akhir 2017.
Dampak dari ketiga hal di atas mulai terlihat di pada laporan keuangan 2017, dimana perusahaan mulai membukukan laba bersih Rp. 47 Milyar setelah pada 2016 dan 2015 CITA masih merugi 265 M dan 341 M. Dan berdasarkan laporan keuangan terakhir pada Q1 2018, CITA membukukan laba bersih 140 M atau hampir 3 kali lipat dari laba bersih total sepanjang 2017. Jika sepanjang 2018 ini bisnis alumunium masih aman-aman saja, maka CITA pada akhir tahun nanti mampu mencetak return on equity sekitar 50%!!!
Dan berapa Pbv sahamnya? Di harga 750 Pbv CITA ini hanya sekitar 2,4an, dan jelas masih ada banyak ruang kenaikan karena potensi laba bersihnya nanti yang bahkan setengah ekuitasnya, ibaratnya bisa dibilang dalam 2 tahun perusahaan ini seharusnya sudah balik modal!
Jadi sebegitu bagusnya kah CITA ini?
Sayang sekali, walaupun sudah cerita panjang lebar di atas, tapi CITA ini termasuk saham yang bahkan bisa dibilang sangat-sangat tidak likuid, karena saham publiknya hanya sekitar 88 juta lembar saham. Jadi seandainya ingin membeli CITA ini, gunakan hanya sedikit bagian dari dana Anda. Gak bisa banyak-banyak. Jadikan CITA ini sebagai kesempatan untuk mencari sedikit opportunity dari diversifikasi portofolio Anda. Maksudnya, seorang investor yang baik, gak mungkin menempatkan semua dananya di saham-saham bluechip saja, alias bermain aman. Seorang investor wajib memiliki porsi kecil, jangan terlalu kecil juga, dari portofolionya untuk mencari-cari saham opportunity seperti CITA ini, yang harganya masih sangat murah, potensi besar, dan pertumbuhannya mencolok. Karena dana yang digunakan kecil, kita nanti lebih gampang untuk menjual saham ini dengan cepat seandainya fundamental perusahaan menjadi jelek. Tapi tentu saja menjadi jeleknya gak akan terjadi dalam satu dua minggu ke depan. Dan biasanya hanya investor-investor berprinsip value investing sejati yang mau menempatkan dananya di saham-saham sejenis CITA ini.
Trus bagaimana kalau kita invest di perusahaan lain yang juga bisa ekspor bauksit kayak ANTM?
ANTM menurut saya walaupun laba bersih Q1nya melonjak drastis, tapi harga sahamnya kemahalan. ANTM walaupun juga mengekspor Alumina melalui anak perusahaannya, tapi jenisnya berbeda dengan alumina CITA ini, ANTM mengekspor CGA (Chemical Grade Alumina) yang mana prosesnya agak sedikit lebih panjang dan kompleks dibandingkan SGA. Jadi rawan terjadi lonjakan beban karena rantai produksinya lebih panjang, dan saya sendiri dan kebanyakan investor lain akan lebih menyukai bisnis yang prosesnya simpel, tidak ribet.
Atau bagaimana kalau di industri hilir kayak INAI (Indal Alumunium Industry Tbk) atau ALKA (Alakasa Industrindo Tbk)?
INAI pemain bisnis hilir alumunium yang menjual alumunium ekstruksi, alias alumuniumnya udah dibentuk-bentuk sesuai kebutuhan, kebanyakan dibutuhkan pada proyek-proyek konstruksi properti, dan karena properti lagi melambat, maka INAI gak terlalu bagus-bagus amat growthnya, padahal pendapatan mayoritas INAI masih dari penjualan produk-produk alumunium ke jasa konstruksi.
Karena pertumbuhannya gak bagus-bagus amat, maka saham di sektor hilir ini butuh katalis yang lebih lanjut agar harga sahamnya naik lebih tinggi. Dan setelah saya telusuri, memang prospeknya sejalan dengan prospek properti. Selain itu INAI juga gak likuid-likuid amat. Ditambah lagi karena bisnisnya di hilir, maka dengan harga alumunium yang tinggi sekarang, cost jadi lebih besar. Kalau ALKA ya sama aja, malah penulis khawatir untuk invest disini karena rasio hutangnya tergolong gede banget diindustrinya.
Karena pertumbuhannya gak bagus-bagus amat, maka saham di sektor hilir ini butuh katalis yang lebih lanjut agar harga sahamnya naik lebih tinggi. Dan setelah saya telusuri, memang prospeknya sejalan dengan prospek properti. Selain itu INAI juga gak likuid-likuid amat. Ditambah lagi karena bisnisnya di hilir, maka dengan harga alumunium yang tinggi sekarang, cost jadi lebih besar. Kalau ALKA ya sama aja, malah penulis khawatir untuk invest disini karena rasio hutangnya tergolong gede banget diindustrinya.
Kalau nanti harga alumunium turun gimana?
Bisnis CITA bisa dibilang tidak terlalu rawan terhadap harga alumunium, karena mainnya di hulu. Yang jadi kekhawatiran justru penyebab dari naiak turunnya harga tersebut, yaitu supply dan demand. Belakangan harga alumunium memang agak tergerus walaupun masih berada di atas $2000/ton yang diakibatkan perang dagang AS-China dan pemberlakuan tarif impor oleh AS memunculkan kekhawatiran suplai alumunium China jadi melimpah. Tapi hal tersebut masih sebatas kekhawatiran karena proses negosiasi AS-China masih berlanjut. Beruntungnya CITA memiliki rantai pasok dan distribusi dimana para pemilik joint ventures tadi saling membutuhkan sehingga hasil produksi jelas peruntukannya. Dan perlu diingat, WHW tadi merupakan pabrik penghasil SGA pertama dan terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi 1 juta ton per tahun, jadi tidak ada saingan, pabrik penghasil SGA lain baru akan dibangun oleh ANTM dan INALUM yang entah bagaimana kabarnya sekarang. Kebutuhan dalam negeri sendiri terhadap alumunium pada 2017 lalu mencapai 810.600 ton dengan pasokan hanya 500.000 ton, jadi ada defisit yang cukup besar dan merupakan prospek yang bagus terhadap sektor alumunium ini. Seandainya perang dagang beneran terjadi, dan alumunium China melimpah sehingga harga alumunium turun drastis, yang kena duluan harusnya INAI dan ALKA tadi. CITA mungkin kena imbas gak bisa ekspor karena gak ada kebutuhan dari luar negeri, tapi CITA masih bisa mengharapkan pasar domestik yang masih defisit tadi, dan karena WHW merupakan pemain tunggal di smelter gradi alumina, maka jelas hasil produksinya bisa langsung terserap pasar, walaupun efeknya tetap akan mengurangi pendapatan perusahaan, tapi harusnya gak sampai rugi-rugi amat.
Dan tetap saja sebagai investor, kita seharusnya mendapat berita bukan dari isu-isu apalagi gosip yang beredar. Kita harus menunggu konfirmasi resmi dari perusahaan menyampaikan efek dari perang dagang tersebut terhadap fundamentalnya. Kalau jadi jelek kita bisa segera jual (tapi jeleknya ini gak akana terjadi tiba-tiba), kalau gak pengaruhnya ya di keep. Dan itu berarti nunggu laporan keuangan Q2, Q3 dan seterusnya, yang keluar hanya setiap tiga bulan, karena memang sejatinya kerjaan investor itu hanya menganalisis sekali tiga bulan, selebihnya tinggal nyantai minum kopi 😛
Dan tetap saja sebagai investor, kita seharusnya mendapat berita bukan dari isu-isu apalagi gosip yang beredar. Kita harus menunggu konfirmasi resmi dari perusahaan menyampaikan efek dari perang dagang tersebut terhadap fundamentalnya. Kalau jadi jelek kita bisa segera jual (tapi jeleknya ini gak akana terjadi tiba-tiba), kalau gak pengaruhnya ya di keep. Dan itu berarti nunggu laporan keuangan Q2, Q3 dan seterusnya, yang keluar hanya setiap tiga bulan, karena memang sejatinya kerjaan investor itu hanya menganalisis sekali tiga bulan, selebihnya tinggal nyantai minum kopi 😛
*ps: Penulis memiliki CITA di range harga 750an
No comments:
Post a Comment