Thursday, September 20, 2018

Pelemahan rupiah, perang dagang, dan dinamika ekonomi global lain serta dampaknya terhadap emiten bursa

Kalau diperhatikan, belakangan frekuensi tulisan di web ini sedikit berkurang. Apabila biasanya sebulan minimal ada dua artikel di web ini, tetapi belakangan hanya ada satu atau dua artikel. Selain karena faktor kesibukan di kantor dan juga di rumah sebagai kepala rumah tangga dari sebuah keluarga kecil (ps: saya bukan investor full time), juga karena faktor belum ada sesuatu yang menarik untuk dibahas terkait kondisi bursa belakangan ini.

Tapi, beberapa hari lalu kita dihebohkan oleh media dimana nilai tukar rupiah  terhadap dolar akhirnya sempat menembus angka 15000, dan pasar merespon dengan anjloknya IHSG ke level 5600an. Tidak hanya itu, kemudian di media massa bermunculan rentetan berita dari perkembangan ekonomi global seperti Lira Turki ambruk dan menyebabkan Turki berada dalam krisis (yang ternyata juga memunculkan rentetan krisis di negara-negara berkembang lain), perang dagang AS-China yang mengganggu kondisi perdagangan global, serta mulai bermunculan obrolan di media massa bahwa Indonesia akan mengalami krisis seperti tahun 1998. Ketika pasar didera dengan isu-isu seperti di atas, semua orang sibuk mengamankan investasinya dengan cara menjual portofolio mereka dan memegang cash di tangan yang mengakibatkan harga-harga saham jatuh di semua sektor. Dan seperti yang kita bisa amati, saat ini seolah-olah semua saham tampak murah dan sangat menggiurkan untuk dibeli, Tapi saham mana yang layak dibeli?




Untuk menjawab hal tersebut mau tidak mau kita harus menelusuri lagi cerita awal mulanya penyebab guncangan ekonomi ni muncul. Dan itu berarti kita akan sedikit membahas makroekonomi secara global. Salah  satu tugas penting  seorang investor yaitu memiliki pengetahuan yang update mengenai situasi yang berkembang dan mengambil kesimpulan dari perkembangan ekonomi yang terjadi belakangan (dan memastikan apakah dampaknya beneran terjadi terhadap emiten yang kita miliki).

Kesimpulan seperti apa? Yang paling gampang yaitu dampak terbesarnya terhadap IHSG keseluruhan. Contohnya seperti ini (ini juga bisa menjadi Tips dalam merestrukturisasi portofolio ketika masa bearish), ketika Indonesia didera isu krisis seperti saat ini kesimpulan apa yang bisa kita ambil? Kesimpulannya yaitu IHSG masih jauh dari pola uptrendnya dan cenderung akan sideways naik turun seperti di atas karena investor belum berani masuk pasar. Jadi IHSG masih jauh dari sentimen yang dapat mendorong bullish, dan kita tidak perlu tergesa-gesa dalam membeli ataupun menjual kepemilikan saham kita. Menjadi investor seharusnya melatih kesabaran kita dalam mengontrol emosi, prakteknya ya ketika pasar tengah bergejolak seperti saat ini, investor harus sabar menunggu ketika IHSG sampai di titik terendahnya seperti gambar di bawah (dilingkari merah) untuk membeli saham-saham yang berfundamental bagus (biasanya kebanyakan tergolong saham-saham bluechip) yang harganya sudah sangat murah. Dan sebaliknya, kalau kita mempunyai saham nyangkut dan performa fundamental perusahaannya turun (atau fundamentalnya bisa juga gak naik dan gak turun, karena dalam masa seperti ini sebuah perusahaan yang bisa menarik minat investor hanyalah saham-saham yang kinerjanya menanjak ataupun punya potensi untuk menanjak, jadi saham yang pertumbuhan fundamentalnya biasa-biasa saja  bisa digolongkan ke "saham-saham yang tidak menarik") maka kita bisa menjualnya ketika pasar lagi "di atas". Walaupun mungkin  kita menderita  kerugian, tapi paling tidak  kerugiannya tidak terlalu besar karena sabar menunggu pasar rebound.



Penulis sendiri di masa koreksi ini lebih menyukai membaca annual report, materi public expose, dan publikasi-publikasi lain yang diterbitkan oleh perusahaan yang penulis miliki (ataupun perusahaan yang termasuk ke dalam watchlist) daripada ikut-ikutan panik melihat berita di media massa. Karena dengan membaca dokumen-dokumen tersebut, kita sebagai investor akan lebih memahami seluk-beluk bisnis yang digeluti perusahaan tersebut. Apa saja portofolio bisnisnya, dari mana rantai pasok produksinya, kemana saja penjualannya, dari mana saja hutangnya, dan hal-hal lain sampai asal usul para direktur dan komisaris beserta tim manajemen perusahaannya. Hal ini akan sangat membantu kita dalam memahami perusahaan itu sendiri secara lebih komprehensif, dan ketika terjadi banyak gejolak seperti belakangan ini, si Investor dapat menganalisis secara baik dampaknya terhadap perusahaan yang dimilikinya.

Nah, seiring berjalannya waktu, pengalaman seorang investor akan semakin bertambah dan pemahaman seorang investor akan semakin luas dalam memahami seluk beluk suatu perusahaan. Bisa saja bahkan seorang investor yang rajin membaca publikasi resmi perusahaan, lebih mengetahui keadaan perusahaan itu dibandingkan karyawan perusahaan itu sendiri. Pemahaman yang luas disertai pengalaman ini lambat laun akan menumbuhkan awareness si investor terhadap dinamika ekonomi dan politik yang terjadi baik di nasional maupun internasional yang dapat memengaruhi fundamental perusahaan yang dimilikinya.

Sebagai contoh, kurs rupiah yang melemah belakangan ini terhadap dollar, mungkin akan memunculkan pesimisme bagi sebagian orang. Sebagian orang sibuk menyalahkan pemerintah,  ekonom mulai mengeluarkan kata-kata krisis, kepanikan muncul dan investor berbondong-bondong angkat kaki dari bursa. Tapi investor yang lebih matang akan tetap tenang dan mampu memandang setiap kondisi dari berbagai sisi. Investor tersebut akan mulai menganalisis berdasarkan pengalaman dan pemahamannya terhadap seluk beluk bisnis perusahaan tempat ia berinvestasi. Apakah dalam portofolionya ada perusahaan yang mempunyai hutang dalam kurs dollar? seberapa besar? dan bagaimana kesanggupan si perusahaan dalam membayar hutang dan liabilitasnya tersebut? Lalu ia juga akan mencari perusahaan apa yang diuntungkan dari menguatnya dollar. Investor yang berpengalaman tidak serta merta akan ikut panik ketika media memberitakan suatu kehebohan dan mulai memunculkan kata-kata krisis dalam beritanya. Tapi ia akan terlebih dulu memastikan impact, dan resiko dari isu tersebut. Apabila analisisnya menunjukkan bahwa portofolionya tidak akan terpengaruh banyak oleh isu pelemahan rupiah, maka ia akan tetap santai-santai saja, dan bahkan mungkin menambah kepemilikannya di perusahaan tersebut.


Sekarang kita coba sedikit membahas mengenai rentetan kejadian gejolak ekonomi yang terjadi belakangan, sekaligus menjadi catatan penulis pribadi agar analisis ini dapat dibaca lagi sewaktu-waktu di masa yang akan datang seandainya kejadian ini berulang (history does repeat itself), apa yang dapat kita simpulkan dari dinamika ekonomi, perdagangan, dan politik yang terjadi belakangan. Pertama kita list dahulu kejadian-kejadian major yang terjadi belakangan.

Luar Negeri
1. Perekonomian AS sedang bagus-bagusnya dengan growth sebesar 4,2%. Karena penguatan ini, The Fed menaikkan suku bunga AS secara cepat hingga saat ini sudah di level 2% agar neraca keuangan AS membaik.
2. Perang dagang AS dan China serta negara-negara lain yang menjadi mitra dagang AS. Akibatnya muncul ketidakpastian di negara-negara yang menjadi mitra dagang AS dan juga China, yang berefek ke Indonesia (karena Cina mempunyai hubungan dagang yang kuat dengan Indonesia)

Dalam Negeri
1. Rupiah semakin ambles, sempat menyentuh 15000 walaupun segera balik ke level 14900an dan sekarang di 14800an
2. Defisit neraca perdagangan. YtD Juli Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan sebesar $3,09 Milyar.

Perekonomian AS yang sedang bagus-bagusnya sebenarnya merupakan impact dari kebijakan ekonomi yang dilakukan setelah krisis 2008 lalu. Dimana suku bunga AS ketika itu diturunkan dari 5,25% sebelum krisis menjadi hanya 0,25% setelah krisis. Apa tujuannya? agar pengusaha lebih mudah mendapatkan pinjaman dari Bank dengan bunga kecil dan kemudian usahanya berkembang memutar roda perekonomian serta menurunkan tingkat pengangguran. Untuk lingkap ekonomi internal AS tujuannya sangat baik, tetapi efeknya investor mulai meninggalkan AS karena suku bunga rendah tersebut menjadi tidak menarik dan mencari-cari opportunity di negara-negara berkembang yang menawarkan suku bunga serta potensi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi seperti India, Indonesia, Afrika Selatan dan berbagai negara-negara lain di Afrika serta di Amerika latin.

Ketika pada 2016 The Fed mulai menaikkan lagi suku bunganya karena memandang perekonomian AS sudah pulih, investor yang tadi angkat kaki dari AS perlahan mulai melirik lagi obligasi-obligasi di negeri paman sam karena yieldnya yang meningkat tajam. Investor tadi mulai menjual aset-asetnya di negara berkembang dan kembali membeli obligasi-obligasi di AS. Perlahan tapi pasti efeknya adalah pelemahan rupiah karena US dollar ditarik kembali ke Amerika sehingga peredarannya di negara-negara berkembang berkurang. Hingga mencapai puncaknya ketika The Fed menaikkan suku bunga AS 4 kali sepanjang tahun 2017 dari 0,75% menjadi 1,5% pada akhir 2017 dan kemudian menaikkan lagi suku bunganya 2 kali pada tahun 2018 ini hingga menjadi 2%.

Karena menyinggung-nyinggung penguatan dollar AS, satu kejadian yang tak bisa dilewatkan dan juga sempat berimbas ke Indonesia adalah krisis yang dialami Turki. Mata uang Lira Turki melemah terhadap dollar AS sebesar 60%. Hal ini disebabkan tidak lain karena melemahnya fundamental perekonomian Turki itu sendiri. Di tengah membaiknya perekonomian AS, dan penguatan dollar, Turki mengalami defisit neraca perdagangan dan defisit anggaran yang berakibat cadangan devisa Turki terkuras sedangkan hutang asing Turki melonjak akibat menguatnya dollar AS. Dan akhirnya cadangan devisa Turki berbanding hutang jangka pendeknya hanya sekitar 70% dimana angka ini sangat mengkhawatirkan bagi para investor yang kemudian akhirnya angkat kaki dari Turki.

Nah entah bagaimana ceritanya, berkembanglah isu bahwa penguatan dollar AS juga akan berimbas ke negara-negara berkembang lainnya, seperti Afrika Selatan, Brazil, Argentina, dan, termasuk Indonesia! Akhirnya pelaku pasar panik dan terjadilah koreksi tajam dimana IHSG terjun bebas lagi ke level 5600an pada awal September lalu. Padahal menurut penulis kejadian di Turki berbeda kondisi dengan Indonesia. Selain karena fundamental Turki sendiri yang memang mengkhawatirkan, juga secara tidak langsung disebabkan oleh memburuknya hubungan antara Ankara dan Washington belakangan ini. Sedangkan Indonesia masih berusaha menjalin hubungan harmonis dengan paman Sam.

Jadi dari poin 1 kejadian luar negeri yang kita list di atas, akhirnya menjadi muasal terjadinya poin 1 pada kejadian dalam negeri yaitu pelemahan rupiah.


Poin berikutnya yaitu Perang dagang AS dan China. Sebenarnya tidak hanya China yang ditantang oleh Amerika Serikat, melainkan juga negara-negara mitra dagangnya yang lain. Penyebabnya karena kebijakan ekonomi Trump yang lebih proteksionis. Belakangan Trump gemar menerapkan tarif khusus barang-barang hasil ekspor negara lain yang masuk ke AS. Akibatnya barang-barang impor di AS harganya menjadi tidak bersaing dan kalah laris dibandingkan produksi dalam negeri AS sendiri. Walaupun sempat menyebut-nyebut Indonesia, tetapi tarif khusus yang riil telah diberlakukan oleh AS kebanyakan adalah produk-produk impor dari China. Hal inilah yang akhirnya memancing reaksi balasan dari China yang turut menerapkan tarif impor serupa dari Amerika Serikat.

Disinilah penyebab terjadinya kekhawatiran para pelaku pasar. China dengan kekuatan ekonomi terbesar berpotensi mengalami kelebihan produk dan pasokan. Akibatnya negara-negara yang selama ini menjadi pemasok komoditas ke China dapat mengalami penurunan volume ekspor yang apabila berkelanjutan dapat merusak neraca negara tersebut. Termasuk lah didalamnya Indonesia yang memiliki hubungan dagang kuat dengan China. Indonesia bisa saja mengalami penurunan ekspor ke China karena melimpahnya bahan baku di China terutama komoditas. Dan selain itu, bisa juga produk-produk ekspor China tadi yang tidak jadi diekspor ke AS malah dialihkan ke negara-negara berkembang seperti Indonesia. Padahal impor Indonesia sendiri saat ini sudah lebih besar dibandingkan ekspor. Dengan ditambah penguatan dollar AS hal ini turut memicu nilai defisit perdagangan yang lebih besar lagi selain karena memang kondisi perdagangan dunia yang tengah lesu seperti saat ini.

Jadi 2 kejadian major di luar negeri dan di dalam negeri di atas sudah mulai terurai jelas. Pemerintah pun mulai merespons kondisi pelemahan rupiah serta defisit neraca perdagangan tadi dengan mengeluarkan beberapa kebijakan (yang penting-penting saja menurut penulis):


  1. Menaikkan suku bunga 7 day Repo Rate menjadi 5,5%
  2. Melakukan penghematan devisa negara dengan mengurangi impor:
    i. Menerapkan kebijakan Biodiesel B20 (kewajiban untuk mencampurkan 20% bahan bakar nabati (biodiesel yang bersumber dari kelapa sawit)
    ii. Menaikkan PPh impor bagi barang konsumen seperti komoditas, produk yang dapat disubstitusi dengan produk lokal (Ac, dispenser dll), dan barang mewah seperti mobil CBU
    iii. Menambah kuota produksi batubara hingga 100 juta ton untuk meningkatkan nilai ekspor, terlebih lagi saat ini harga batubara masih di atas $100 per ton.
    iv. Menggiatkan lagi aktivitas lifting minyak bumi Indonesia sebagai cara untuk mengurangi impor BBM

Dari beberapa kebijakan-kebijakan di atas, dapat langsung diterka bahwa sektor-sektor yang terkena imbas, baik positif maupun negatif, adalah sektor-sektor berikut:


1. Perbankan

Perbankan jelas mendapatkan impact dari naiknya suku bunga 7 day repo rate BI. Suku bunga yang meningkat memang akan menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, tetapi di sisi lain bagi Bank itu sendiri kenaikan suku bunga akan menambah beban dana bank, likuiditas, meningkatnya Non-performing loan, serta berpotensi menurunkan margin profit. Belum lagi terkait penguatan dollar AS, Bank yang memiliki rasio hutang asing lebih besar dibandingkan hutang dalam negeri berpotensi menggerus pendapatan akibat membengkaknya liabilitas. Akibatnya saham-saham di sektor perbankan ambles lebih dalam dibandingkan sektor lain.

Untuk mencari potensi investasi di sektor ini, kita amati dulu fundamental beberapa Bank di sektor ini seperti pada tabel di bawah.


Pada table di atas, Penulis sudah mencoba merangkum beberapa indicator dan rasio fundamental saham-saham perbankan. Dan tidak semua saham perbankan penulis masukkan ke dalam table, karena kebanyakan bank lain tergolong kurang bagus (kriteria perusahaan yang bagus menurut penulis adalah perusahaan yang memiliki Return on Equity paling tidak 12%).

Jadi, saham yang penulis berikan warna hijau adalah saham yang menurut penulis layak untuk dibeli dan harga belinya dapat dilihat pada kolom status. Sebagai contoh, BJTM penulis golongkan ke status undervalue, artinya silakan beli BJTM ini berapa pun harganya saat ini (saat tulisan ini dibuat, BJTM di harga 640). Dan kenapa BJTM ini sangat layak beli? Ya itu tadi, RoEnya terbesar dibandingkan bank-bank lain, artinya bank ini sangat profitable. Selain itu  apabila Anda termasuk investor yang juga mengharapkan dividen besar, maka BJTM ini sangat cocok untuk Anda karena dividen yieldnya yang tergolong besar dimana rata-rata setiap tahunnya dividen yield BJTM berkisar antara 6-8% (Seandainya Anda belum mengetahui apa itu dividen yield, dividen yield yaitu persentase dividen yang Anda dapatkan berbanding total uang yang diinvestasikan, contoh, apabila saya membeli saham BJTM sebanyak 10 Juta, dan dividen yield BJTM 7% maka saya mendapatkan dividen 7 Juta).

Beberapa bank lain yang juga diberi warna hijau seperti BBRI, BBCA, dan BMRI, Anda dapat membeli perusahaan ini tapi di range harga yang tertera pada kolom status. Sebagai contoh BMRI, pada kolom status tertulis "MoS 5800-6300". Ini artinya BMRI dapat dibeli, tetapi setelah harganya menyentuh harga 6300an ke bawah. Apa itu MoS? MoS yaitu margin of safety alias margin yang dibutuhkan agar resiko Anda rugi ketika membeli suatu saham menjadi sangat minim. Biasanya ditentukan setelah investor menentukan nilai intrinsic suatu saham, lalu kemudian dari nilai intrinsic tadi si Investor menetapkan, katakanlah, MoS 25% yang artinya ia baru akan membeli saham tersebut apabila harga saham tersebut berada 25% di bawah nilai intrinsiknya. Nilai MoS ini besarnya suka-suka si Investor, tetapi sebagai referensi Eyang Warren Buffet biasanya menggunakan nilai MoS 25% tadi. Dan begitu juga range harga beli untuk saham BBRI dan BBCA, sama seperti di atas.

Kenapa penulis tidak memasukkan BBNI menjadi saham yang layak beli? Pertama, karena penulis pernah punya pengalaman tidak menyenangkan dengan BBNI, dan kedua karena rasio hutang asing BBNI sangat besar. BBNI memiliki total hutang 63 Triliun, dan 82%nya merupakan hutang asing. Nah untuk menghindari resiko ini, penulis tidak memasukkan BBNI sebagai saham perbankan yang layak beli di masa ketidakpastian seperti saat ini.

Berbanding terbalik dengan BBNI, BBCA justru tergolong Bank yang memiliki total hutang sangat kecil, tidak sampai 9 Triliun, dan rasio hutang asingnya hanya 1,7%. Jadi dari segi resiko BBCA sangat aman dari jeratan hutang. Sedangkan untuk BMRI, walaupun memiliki hutang yang tergolong besar sebesar 82 T, dan hampir setengahnya merupakan hutang asing, tetapi kinerja BMRI lagi bagus-bagusnya saat ini. BMRI memiliki pertumbuhan laba bersih sebesar 29% dan yang tertinggi di sektornya. Selain itu BMRI menurut penulis juga merupakan jenis bank yang birokrasinya tidak ribet (seperti BBCA juga), dan ia memiliki salah satu senjata masa depan perbankan seperti e-money yang sudah menjadi Top of Mind masyarakat Indonesia. Coba sekarang kalau Anda ingin menyebutkan uang digital atau uang elektrik, Anda sebut dengan nama apa dalam Bahasa sehari-hari? E-money bukan?

(Dari uraian penulis di atas dapat disimpulkan, bahwa analisis seorang investor dapat bersifat sangat subjektif. Ada banyak kejadian dimana seorang investor tidak mau membeli suatu saham hanya karena mungkin pernah mempunyai pengalaman tidak menyenangkan dengan perusahaan tersebut, atau bahkan mungkin hanya karena tidak suka dengan nama perusahaannya, walaupun disekelilingnya semua orang sudah membeli saham tersebut karena tengah memberikan keuntungan berlipat misalnya)

2. Perkebunan

Berbanding terbalik dengan sektor perbankan, sektor perkebunan justru mendapat angin segar dari kebijakan B20 yang dicanangkan pemerintah. Seharusnya sih penjualan dari masing-masing emiten perkebunan akan meningkat, tetapi sekali lagi hal ini baru dapat dipastikan setelah nanti perusahaan-perusahaan perkebunan mengeluarkan laporan keuangan kuartal III atau bahkan kuartal IV untuk dapat memastikan dampaknya terhadap fundamental perusahaan.


Dari segi fundamental terakhir, hanya FISH dan TBLA yang memiliki RoE cukup besar dan hanya FISH yang undervalue. Tetapi FISH tidak penulis masukkan ke dalam saham layak beli karena FISH sangat tidak likuid (jumlah saham yang disetor penuh hanya 480 juta). Sedangkan TBLA justru sepertinya sedang bermasalah karena laba bersihnya turun 30% (mungkin ada kaitannya dengan hutang karena TBLA tergolong memiliki hutang besar dengan DER > 2). Begitu juga dengan AALI dan LSIP. Tapi apabila Anda ngotot ingin memiliki saham perkebunan, Anda dapat membeli sesuai harga MoS di atas.

Tapi kok range harga layak belinya kayak gak masuk akal? Justru itulah harga beli yang paling masuk akal menurut penulis, karena di harga segitulah saham-saham tersebut tergolong "murah" dan "aman" dari resiko rugi yang berlarut-larut.


3. Pertambangan (Batubara)

Untuk sektor pertambangan, khususnya batubara, selain karena memang harga batubara yang tengah bullish, kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produksi batubara juga akan menjadi katalis bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki tambang batubara seperti PTBA, ADRO, MBAP dll. Walaupun sejak 2016 sudah naik banyak, belakangan justru malah saham-saham batubara justru banyak ditinggalkan investor asing, sehingga harganya terdiscount.


Dari segi fundamental, MBAP masih tergolong undervalue, tetapi sayangnya MBAP agak kurang likuid. PTBA sendiri walaupun sudah naik banyak tetapi masih memiliki potensi naik sehingga apabila Anda berniat untuk membeli perusahaan batubara, penulis sendiri merekomendasikan PTBA. Di sektor ini, kualitas manajemen dapat dilihat sekilas dari pertumbuhan laba bersih yang dihasilkan. Perusahaan seperti ITMG dan HRUM yang justru mencatatkan penurunan laba bersih padahal harga batu bara tengah bullish menandakan ada sesuatu yang terjadi di dalam perusahaan. Karena labanya justru turun maka penulis sendiri langsung mencoret ITMG dan HRUM dari daftar pilihan.
Sedangkan untuk DOID harganya sendiri sudah tidak bisa dikatakan murah lagi, seandainya pun penulis akan membeli DOID, penulis baru akan membeli di harga maksimal 550.

4. Migas

Nah, sektor migas sendiri sebenarnya penulis tidak terlalu tertarik, karena walaupun harga minyak dunia memang perlahan sudah mulai stabil, tetapi justru hal ini tidak berdampak terlalu signifikan kepada fundamental saham-saham sektor migas. Rencana pemerintah menggiatkan lagi lifting minyak bumi juga masih sebatas rencana. Yang santer terdengar baru hanya ambil alih PT. Trans Pacific Petrochemical (yang memiliki banyak hutang dan masalah)  oleh Pertamina. Jadi seandainya pun rencana pemerintah untuk menggiatkan lifting minyak bumi menjadi kenyataan, perlu dianalisis lebih lanjut dampaknya terhadap fundamental emiten-emiten migas. Seandainya fundamental perusahaan migas tidak kunjung membaik, maka kenaikan harga saham yang dialami sektor migas hanya bersifat sementara, dan sarat resiko.




5. Emiten yang memiliki ketergantungan produk impor pada rantai pasoknya.

Untuk emiten yang memiliki ketergantungan produk impor sebagai bahan baku produksinya, jujur penulis sendiri belum lebih jauh menganalisis emiten mana saja yang bisa terdampak resiko meningkatnya beban operasi. Tapi sepengetahuan penulis, saham-saham petrokimia seperti TPIA (Chandra Asri) membutuhkan produk impor berbahan dasar minyak bumi sebagai bahan baku produksinya. Dampaknya sendiri sudah mulai terlihat dari laporan keuangan kuartal II TPIA, laba bruto TPIA anjlok lebih hampir 20%. Laba bersihnya lebih parah lagi, turun 34% dibanding tahun lalu. Penyebabnya tidak lain karena beban pokok dan beban keuangan perusahaan meningkat drastis.




Nah, walaupun secara common-sense kita dapat mengira-ngira dampak suatu dinamika ekonomi global terhadap suatu sektor ataupun perusahaan, tidak serta merta hal itu akan terjadi beneran. Misalnya sektor batubara, meskipun harga batubara sudah stabil di atas $100 per ton, dan secara akal sehat seharusnya banyak perusahaan batubara yang akan untung lebih besar dibanding tahun lalu, tetapi ada saja perusahaan batubara yang justru malah laba bersihnya turun karena berbagai hal (seandainya tetap ngotot ingin tahu kenapa hal itu terjadi, Anda dapat melihat lebih lanjut detail dari pendapatan dan beban pada laporan keuangan perusahaan). Begitu juga sektor lain seperti yang telah kita bahas di atas.

Jadi ketika Anda memutuskan untuk membeli suatu perusahaan, di masa ketidakpastian perekonomian global seperti saat ini, jangan cepat terpengaruh terhadap suatu isu. Contohnya, pemerintah menaikkan suku bunga, secara logika tentu berefek ke beban keuangan (cost of fund) perbankan dan Anda mengira-ngira bank-bank tentu akan mulai mengalami kesulitan keuangan. Tapi toh kenyataannya bank-bank besar tetap mengalami pertumbuhan. Begitu juga dengan kebijakan peningkatan ekspor batubara, tidak serta merta semua perusahaan batubara juga akan untung besar, tetap ada saja perusahaan batubara yang justru malah tidak bertumbuh. Jadi disinilah pentingnya Anda mencari tahu sendiri kinerja dan rasio-rasio perusahaan yang diincar, agar Anda tidak gampang termakan isu.

Daan, sepertinya "badai" ini masih belum akan reda, karena The Fed sudah hampir dipastikan masih akan menaikkan suku bunganya dua kali lagi di tahun ini. Jadi, apabila punya dana cash, simpan dulu saja, dan sabar untuk menunggu harga saham incaran menjadi lebih murah lagi. Dan apabila ingin menjual, sabar juga menunggu harga saham Anda rebound seperti yang telah kita bahas di atas 😊


No comments:

Post a Comment