Apa susahnya menjadi value investor?
Tugas seorang value investor sangat sederhana, sesederhana quotes termasyhurnya Warren Buffett di atas, "Jadi lah tamak ketika orang lain ketakutan, dan takutlah ketika orang lain tamak". Jika konteksnya dikaitkan dengan bursa saham, belilah saham ketika orang-orang lain tidak mau beli saham, dan jual ketika orang-orang lain tengah euforia sehingga tidak mau menjual sahamnya. As simple as that!
Dan ketika IHSG tengah crash sejak awal februari lalu, dimana sampai dengan kemaren performanya sudah ambruk hingga -22% dari posisi 6.283 pada awal tahun, maka seharusnya pada masa inilah seorang value investor justru tersenyum lebar karena waktunya berburu saham-saham incaran di harga yang sangat murah. Disaat seperti inilah seorang value investor ibarat menjadi seorang pemburu ganas yang tengah bernafsu ingin menekan pelatuk senapannya karena melihat hewan buruannya tepat berada di depan mata tak berdaya. Tapi apakah benar saat ini kita seperti pemburu tersebut?
Jawabannya tentu hanya diri kita masing-masing yang tahu. Tetapi yang pasti, semua value investor tentu akan setuju bahwa inilah saatnya kita mulai membidik saham incaran dengan harga murah yang telah kita tetapkan sebelumnya. Dan, ibarat pemburu tadi, tentu saja ia butuh amunisi untuk mendapatkan hewan buruannya, dan sebagai seorang investor, apa amunisi kita? Tentunya adalah cash in hand.
Tapiii... ada berapa banyak di antara kita, yang jangankan sekarang sedang memegang cash, yang ada malah dalam posisi nyangkut, alias rugi. Dan akhirnya sekarang dalam posisi dilema, karena apabila ingin mendapatkan saham incarannya yang saat ini tengah murah, ia tentu harus menjual sahamnya yang nyangkut tadi terlebih dahulu, dan belum tentu saham incaran tersebut akan naik, bisa jadi malah turun lebih dalam.
Jadi, apa susahnya mengamalkan petuah Warren Buffett tadi? Bagi yang sudah berpengalaman dalam bursa saham tentu harusnya paham, ternyata susahnya setengah mati! Bandingkan dengan kondisi role model super investor kita berikut.
Ya, dan beliau tengah memegang uang cash yang kalo dirupiahkan sekitar 1.800 Triliun! Jumlah ini bahkan lebih besar dari total penerimaan pajak Indonesia dalam setahun. Artinya apa? Artinya beliau sudah siap untuk menekan pelatuk senapan seandainya menemukan hewan buruan berada di depan matanya. Bisa saja kita bayangkan ia tengah tersenyum lebar saat ini melihat kejatuhan bursa saham global. He really walks the talks.
Oke, jadi untuk benar-benar bisa menjadi seorang value investor seperti quotes Warren Buffett di atas diperlukan persiapan. Dan tidak hanya persiapan, tetapi juga kejelian dan kesabaran yang luar biasa. Persiapan apa yang dibutuhkan? Tentu saja persiapan berupa list saham incaran hasil analisis kita beserta di harga berapa kita baru akan mulai membeli saham tersebut. Hal ini seharusnya setiap kuartal sudah dilakukan, seorang value investor pastilah menganalisis laporan keuangan saham-saham yang ada setiap kuartalnya dan memilih perusahaan mana yang fundamentalnya bagus dan berapa nilai wajarnya. Kemudian langkah berikutnya adalah SABAR. Sabar menunggu harganya turun hingga masuk dalam range target harga beli kita. Dan justru inilah tahapan yang paling susah.
Sekarang coba perhatikan grafik IHSG berikut.
Ambruknya IHSG ini sebenarnya sudah terjadi dari tahun 2018 lalu, ketika IHSG berada dipuncaknya sekitar 6.600an pada Februari kemudian koreksi hingga 5600an pada bulan Juli 2018. Sejak saat itu, IHSG tidak mampu lagi bangkit lebih tinggi dari posisinya pada Februari 2018,dan hanya mondar-mandir saja antara 6.500-5900an. Jika dihitung sampai dengan maret ini, berarti IHSG sudah mengalami tren koreksinya selama hampir 2 tahun.
Dan jika dilihat grafik di atas, setidaknya ada 3 periode dimana IHSG mengalami crash yaitu periode yang penulis tandai dengan lingkaran merah. Dan dari 3 periode itu berapa kali kita memiliki persiapan untuk memborong saham incaran di harga yang murah?
Rata-rata dari masing-masing periode paling tidak membutuhkan waktu berbulan-bulan hingga akhirnya berada pada titik terendah, dan diantara periode tersebut ada periode rebound sementara yang biasanya terjadi dalam rentang mingguan. Dan disadari atau tidak, rebound-rebound sementara inilah yang menyebabkan kebanyakan value investor justru dalam kondisi nyangkut sehingga akhirnya tidak memiliki peluru untuk menghadapi crash berikutnya.
Ada apa dengan rebound ini? Rebound ini pada dasarnya langsung menyasar ke pusat emosi manusia, yaitu tamak tadi. Ketika IHSG jatuh pada periode 1, pasar panik, tetapi tidak lama, muncul harapan kembali ketika IHSG mulai rebound pada periode 2 yang terjadi paling tidak hampir 4 bulan. Dan dalam periode 2 inilah iman seorang value investor diuji. Ketika melihat saham-saham menghijau, mayoritas investor mulai antusias membeli saham dan kemudian cuan, siapa yang bisa menahan diri untuk tidak ikut membeli saham ketika melihat tetangganya sudah mulai cuan dari rebound tersebut?
Tapi kemudian siapa juga yang tahu kalau bakal ada crash-crash berikutnya? Karena pada dasarnya tidak satupun orang yang bisa memprediksikan kapan dan berapa lama suatu koreksi akan terjadi.
Disinilah pada akhirnya dibutuhkan dua karakter yang telah disebutkan di atas, yaitu kejelian dan kesabaran.
Kejelian apa yang dibutuhkan? Kejelian seorang value investor untuk memperkirakan kondisi makro ekonomi sebuah negara dan ketergantungannya terhadap ekonomi dunia. Tidak dibutuhkan perhitungan yang rumit-rumit, yang dibutuhkan adalah pengetahuan sederhana seperti cara memvaluasi bursa saham sebuah negara overvalue atau tidak. Dan percaya atau tidak, Warren Buffett juga yang memperkenalkan metode ini pertama kali dan hingga sekarang disebut dengan Buffett indicator. Tentu ada indikator-indikator lain yang bisa kita gunakan untuk menentukan apakah akan terjadi resesi atau tidak, tapi untuk detail dari cara-cara mengetahui hal ini akan kita bahas di tulisan yang lain.
Berikutnya yang paling susah adalah kesabaran. Kesabaran apa? karena seperti yang telah disebutkan tadi, tidak ada yang tahu berapa lama suatu market koreksi, kapan akan rebound dan berapa lama reboundnya. Jadi sabar yang bagaimana?
Sabar yang dimaksud yaitu sabar melakukan pembelian saham di harga yang telah kita tetapkan sebelumnya. Misalnya dari analisis yang telah dilakukan kita menetapkan bahwa saham BBCA dianggap murah dan minim resiko ketika harganya di bawah 26.000, maka sebagai seorang value investor sabar lah menunggu hingga saham BBCA di bawah 26.000. Tidak peduli walaupun market tengah euforia dan semua orang tengah cuan dari saham BBCA. Ini yang dimaksud dengan sabarnya seorang value investor.
Lagi-lagi percaya atau tidak, ini juga yang dilakukan oleh Mr. Buffet dimana pembelian besar-besaran terakhir yang ia lakukan adalah pembelian saham Apple dari 2016-2018 lalu. Dan sebelum itupun tidak banyak mega-deal (atau ia biasa menyebutnya elephant gun) yang dilakukan oleh Berkshire Hathaway karena menganggap bahwa bursa saham Amerika sudah overvalued semua. Dan technically bursa Amerika memang terus dalam tren bullish sejak krisis 2008 lalu sampai sekarang. Oleh karena itulah akhirnya Mr. Buffett seolah malas membelanjakan cashnya hingga akhirnya menumpuk seperti sekarang.
Dan inilah prinsip yang bisa kita petik dan pelajari dari The Greatest Investor ini. Ketika sudah menetapkan perusahaan-perusahaan dengan fundamental bagus dan harga belinya maka stick it to your last. Jangan pernah melanggar aturan yang sudah Anda buat sendiri meskipun ternyata saham tersebut kemudian terbang dan Anda baru membeli sedikit. Tidak perlu takut ketinggalan kereta, karena pada akhirnya nanti pasti akan ada koreksi dimana saham tersebut akhirnya undervalue lagi. Dan ketika Anda memegang prinsip ini, Anda tidak akan terburu-buru membeli saham, ataupun menjadi tamak hanya karena rebound sesaat. Dan seiring berjalannya waktu Anda akan memiliki cukup peluru untuk menghadapi market crash berikutnya dengan tersenyum lebar 😊
No comments:
Post a Comment