Sunday, June 7, 2020

Bisakah Hidup dari Main Saham? Part 1

Beberapa waktu lalu, salah seorang rekan kantor bertanya kepada Penulis tentang bagaimana cara bermain saham, apa yang harus dilakukan pertama kali dan sebagainya. Hingga muncul pertanyaan dari rekan penulis tersebut, "Bisa gak sih hidup hanya dari main saham?" 
Saya jawab, "Gak bisa" 😀

"Lah yang bener?", dia balik bertanya, "Kan ada banyak orang-orang kerjaannya cuma main saham, gak perlu kerja, kaya lagi" . Penulis jawab, "Ya emang kita bisa hidup kalo main-main doang?". Lalu dia tertawa karena mengira Penulis bercanda, kemudian setelah menjelaskan perlahan-lahan sang rekan tersebut mengerti. Apa yang saya jelaskan?

Saya mempermasalahkan kata "main" pada kalimat tersebut. Coba saja lihat definisi dari "main" pada kamus bahasa indonesia. main/ma·in/ v 1 melakukan permainan untuk menyenangkan hati (dengan menggunakan alat-alat tertentu atau tidak). Ada kalimat "menyenangkan hati" di sana. 

Jadi sekarang dari kalimat yang ditanyakan oleh teman saya tersebut mengandung arti saham sebagai kegiatan yang menyenangkan hati. Analoginya seperti main bulutangkis, ketika hati sudah terpuaskan dan senang ya kita berhenti main bulutangkis, nanti main lagi ketika "pengen". Jika yang Anda lakukan sehari-hari seperti ini, bisakah hidup dari main bulutangkis? Ya gak bisa, toh sekedar main doang. Tapi kalau Anda jadi atlet bulutangkis? Bisa, dan untuk jadi atlet bulutangkis Anda gak bisa dengan bermain-main doang, ada proses latihan dan pembelajaran yang serius, belajar dari kesalahan, kram kaki, keseleo, keluar uang untuk biaya sewa pelatih, lapangan, dan pengorbanan lain yang dibutuhkan.

Jadi gimana caranya biar bisa hidup dari saham? 
Jawabannya simple, tapi gak sesimple itu juga, kita harus memiliki keahlian untuk menghasilkan pertumbuhan aset saham kita secara konsisten sehingga kita punya aset saham yang cukup besar yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kita.

Lalu rekan saya tadi bergumam, "Kalau bokap nyokap gue kaya trus dia bisa ngasih modal 10 miliar ke gue, gue tinggal nyari saham yang dividennya gede, trus ongkang-ongkang kaki tiap tahun". Ya itu salah satu skenario idaman, tapi seandainya hal itu terjadi, tetap saja kita butuh keahlian untuk menilai suatu perusahaan bagus atau tidak, dividen yieldnya tinggi atau tidak, rutin atau tidaknya perusahaan membagikan dividen, fluktuatif atau tidak labanya, fundamentalnya bagus atau tidak sehingga perusahaannya gak akan bangkrut 2-3 tahun lagi, dan lain-lain. 

Dan, kalaupun seandainya katakanlah kita dapat modal 10 Miliar secara gratis, mampukah kita mengelola duit 10 Miliar tadi? Kalaupun kita punya teori dan pemahaman untuk mengetahui itu semua, tetap diperlukan pengalaman agar kita yakin dengan pilihan kita, tidak gampang goyah dengan berita-berita yang ada, kemampuan membaca arah pasar dan sebagainya. Jadi bisa dibilang, bahwa kalau tiba-tiba dikasih modal 10 miliar untuk dikelola, sedangkan biasanya kita cuma kelola modal 10 juta, tetap saja hasilnya belum tentu lebih baik. Kita pasti pernah dengar kisah seseorang menang lotre lalu beberapa bulan kemudian bangkrut, atau seorang artis/atlit yang tiba-tiba tenar punya banyak harta tidak lama kemudian jatuh miskin, kenapa bisa? karena tidak adanya keahlian dan pengalaman tadi (seseorang yang tiba-tiba kaya lalu bangkrut ini sangat erat kaitannya dengan financial literacy, yang kalau nanti sempat akan kita bahas).

Oke, balik lagi ke soal cara hidup dari saham tadi, dan katakanlah kita bukan anak orang kaya yang bisa dikasih modal 10 Miliar secara tiba-tiba, ada 2 hal yang harus kita capai:
  1. Aset saham kita harus tumbuh konsisten,
  2. Aset saham tersebut harus mencapai nilai tertentu dimana passive income (bisa dari dividen, bisa dari gain) yang dihasilkan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kita.
Pertama, bagaimana caranya agar aset saham kita harus tumbuh konsisten? Biasanya jawaban dari pertanyaan ini akan berujung kepada perdebatan tentang metode mana yang bisa bikin kaya lebih cepat, trading atau investing, dan penulis sendiri akan menjawab, "tergantung".

Begini, membicarakan mana yang lebih bagus antara trading atau investing ibarat membicarakan pilihan program studi seseorang, mana yang lebih bagus teknik elektro atau teknik informatika? teknik sipil atau teknik kelautan? Akuntansi atau manajemen? Meniti karir di suatu perusahaan atau pengusaha? Semuanya relatif, tergantung dari proses yang dialami oleh masing-masing orang.

Apakah ada trader yang kaya? Ada, Apakah ada investor yang kaya? Banyak. Dan masing-masing dari trader yang kaya tadi penulis rasa tidak pernah mempermasalahkan rekannya yang investor dan begitupun sebaliknya, karena menjadi trader atau investor bergantung kepada kecenderungan dan kecocokan seseorang terhadap suatu metode investasi tertentu.

Penulis pernah ditanya oleh salah seorang rekan di kantor, kebetulan rekan tersebut jauh lebih muda, "Mas, main saham juga ya? ajarin dong mas, biasanya megang saham berapa lama mas?". Ya, penulis ditanya bertubi-tubi dan menggebu-gebu seperti itu, jadi penulis jawab "Iya, ya berbulan-bulan biasanya, paling cepet 6 bulan, biasanya lebih". Lalu rekan penulis tadi seperti kehilangan semangat, "Oh lama banget, gak 2-3 hari gitu mas", "Gak" jawab saya, lantas dia tidak menyinggung-nyinggung lagi obrolan tentang saham dan beralih membahas hal lain.

Beberapa bulan kemudian, kita kebetulan berpapasan, lalu penulis bertanya, "Gimana sahamnya?" Rekan tersebut menjawab, "Alhamdulillah udah lumayan cuannya mas, kemaren cuan dari saham X, cuma megang beberapa hari", "Alhamdulillah, berarti trading pake teknikal analisis grafik-grafik gitu ya?", "Iya Mas". Rekan penulis tadi menjawab dengan sumringah, dan dari raut muka wajahnya sepertinya ia cukup puas dengan metode yang ia pakai dalam mengelola asetnya di pasar modal.

Ada lagi seorang teman yang sempat penulis jelaskan apa itu metode value investing, tapi setelah dijelaskan ia malah bingung, dan merasa gak nangkep maksudnya, mungkin karena memang ia belum pernah mencoba beli saham langsung karena memang belum punya rekening dana investor dan belum punya dasar pengetahuan pasar modal, kemudian penulis menyarankan untuk buka rekening dana investor lalu beli buku Edianto Ong, lalu setelah buka rekening dan mempelajari buku tersebut, ia merasa bahwa metode trading teknikal analysis jauh lebih mudah ia pahami. Sehingga akhirnya penulis bertanya-tanya, apa saya gak bisa ngajarin orang ya? 😂

Jadi pertanyaan terkait keahlian mana yang dibutuhkan agar aset saham kita tumbuh konsisten menurut saya hanya masing-masing kita lah yang bisa memutuskan. Perlu diperhatikan kata yang saya bold di atas, keahlian tidak didapatkan dengan main-main, ada proses pembelajaran didalamnya, ada pengorbanan dan pengalaman. Dan metode manapun yang Anda pilih, apakah trading ataupun investing, yang jelas Anda harus ahli dalam hal itu.

Dan bagi penulis sendiri, proses perjalanan itu akhirnya menuntun ke metode yang penulis pakai sampai saat ini, yaitu value investing. Kenapa menggunakan metode ini? Karena ini metode yang penulis rasa paling cocok dengan gaya investasi penulis, tidak banyak memakan waktu, tidak harus melihat pergerakan harga saham setiap saat, dan yang paling fundamental adalah karena metode ini yang bisa menjawab kebingungan penulis terkait naik-turunnya harga sebuah saham.

Pada masa-masa awal penulis membuka rekening sekuritas, buku pertama yang penulis baca adalah technical analysis karangan Edianto Ong. Bukunya bagus, mudah dimengerti, cukup komprehensif. Karena bukunya mengajarkan tentang "membaca" grafik, tren, dan pola-pola, indikator-indikator yang sering menjadi acuan perubahan tren saham, maka jadilah penulis ketika itu mempraktekkan apa yang telah dibaca. Bisa dibilang secara tidak langsung penulis menjadi seorang trader. Beli saham hari ini lalu dijual besok atau beberapa hari kemudian. Sebenarnya hasilnya ketika itu tidak terlalu jelek, ada profit cukup lumayan hari ini, lusa rugi dan silih berganti seperti itu.

Akan tetapi setelah sekitar 6 bulan berjalan, dana di portofolio tidak terasa bertambah, malahan berkurang. Penulis merasa ilmunya masih dangkal lalu kemudian membaca berbagai artikel-artikel tentang trading dan sebagainya. Sampai kemudian penulis menemukan salah satu metode lagi dari salah satu artikel di internet, metode bandarmology. Prinsipnya adalah pergerakan saham, naik maupun turun, pasti digerakkan oleh bandar, Saya merasa ketika itu pendapat yang disampaikan oleh si penulis buku cukup masuk akal, sampai kemudian membeli beberapa buku tentang bandarmology, lalu berlangganan berbayar di sebuah aplikasi trading hanya demi mengetahui grafik pergerakan keluar masuk bandar maupun asing.

Tapi tetap, setelah beberapa bulan menggabungkan technical analysis dengan bandarmology, penulis merasa capek sendiri, karena harus membagi fokus mantengin harga saham dengan waktu untuk bekerja, dan juga masih ada suatu kepingan puzzle yang hilang, berupa pertanyaan yang belum terjawab, dan puzzle ini terus mengganjal di benak penulis sedari awal menggunakan metode technical analysis tadi sampai kemudian memahami bandarmology. Apa puzzle yang hilang?

Ketika menerapkan technical analysis, kita pasti menentukan support atau resistance dari sebuah saham. Seringkali terjadi ketika penulis sudah sangat yakin bahwa support suatu saham sudah ketemu, pola yang terjadi sudah sesuai dengan teori akan terjadi reversal, tetapi kemudian sahamnya malah turun terus. Dan sebaliknya, ketika sepertinya sebuah saham akan berbalik turun, ternyata sahamnya masih terus naik. Begitu juga dengan bandarmology, ketika ternyata terbukti ada aktivitas akumulasi dari suatu "bandar", ternyata sahamnya bukan malah naik, tapi terus turun, begitu juga ketika terjadi distribusi saham, ternyata sahamnya masih terus naik. Pertanyaan yang selalu menjadi tanda tanya bagi penulis adalah "Kok bisa?".

Bagaimana caranya kita bisa tahu ketika suatu saham sudah turun jauh dan dia tidak akan turun lebih jauh lagi? Bagaimana cara tahu suatu saham sudah murah? Atau sudah terlalu mahal? Dari pertanyaan inilah penulis ketika itu menemukan keyword yaitu valuasi saham, dan ketika terus googling di internet penulis menemukan nama-nama seperti Warren Buffett, Benjamin Graham, David Dodd. Dua nama terakhir terdengar asing, tapi nama Bufett sudah sering dengar dan tahu bahwa dia salah seorang terkaya di dunia. Kemudian bagi penulis semuanya menjadi lebih agak logis, "Saya lagi belajar investasi saham, kenapa tidak belajar dari orang yang paling sukses dalam investasi saham sampai-sampai mendapat julukan Oracle of Omaha, The Greatest Investor of Our Time?

Dari situlah kemudian penulis mulai membaca-baca buku tentang cara investasinya warren buffett, mempelajari saham-saham pilihannya, perkembangan metode investasinya dan sebagainya. Beberapa buku yang pernah penulis baca yaitu The Warren Buffett Way - Robert Hagstrom, Buffettology - Mary Buffett, Invest Like a Guru - Charlie Tian, buku Little Book Joel Greenblatt dan Value Investing - Bruce Greenwald. Di Indonesia sendiri ada beberapa tokoh terkenal yang menganut konsep value investing seperti Lo Kheng Hong, dan Teguh Hidayat yang buku-bukunya ringan dan mencerahkan.

Setelah membaca beberapa buku penulis kemudian langsung mempraktekkan konsep value investing tersebut, dan kemudian merasa menemukan jawaban dari the missing puzzle tadi. Dan dengan metode ini pulalah penulis merasa bisa mendapatkan gain yang cukup konsisten. Konsep value investing benar-benar mengubah pandangan penulis yang awalnya merupakan seorang trader yang selalu berharap profit maksimal dengan waktu yang secepat-cepatnya.

Jadi, poin pertama tadi, bagi penulis, akan bisa terjawab dengan metode value investing ini, asalkan kita terus belajar, belajar dari buku, video, artikel-artikel, dan yang terpenting, belajar dari kesalahan. Konsep seorang trader bagi penulis kurang sesuai, dan pada prakteknya pun (bagi penulis ya, belum tentu sama bagi orang lain) lebih seperti Zero Sum Game, maksudnya setelah dilakukan setahun penulis ternyata masih di titik yang sama, dengan nilai portofolio yang tidak jauh beda. Sedangkan dengan value investing, setelah beberapa waktu terasa pertambahan nilai portofolionya.

Oke, kalau begitu, butuh berapa lama agar aset kita tumbuh cukup besar agar bisa hidup dari saham? Dan berapa pula nilai aset yang dimaksud dengan "cukup besar" tadi?

Sekedar informasi, Warren Buffett memulai investasinya dengan dana $105 ribu. $100 ribu nya dari orang tua, kerabat, dan teman-teman dari Mr. Buffett, sisa $5 ribunya modal Mr. Buffett sendiri. Dan Mr. Buffett butuh waktu hampir 10 tahun agar 105 ribu dollar tadi menjadi 1 Juta Dollar. Jadi, selama itu pula kah waktu yang dibutuhkan agar bisa hidup hanya dari saham?

Karena tulisan ini sudah cukup panjang, jawabannya akan penulis tulis di artikel terpisah ;)


*Jangan percaya 100% dengan penulis, karena penulis sendiri sampai saat tulisan ini ditulis masih belum "hidup" hanya dari saham 😁







No comments:

Post a Comment