Wednesday, December 4, 2024

Market Crash 2025?

Setelah koreksi cukup dalam pada Maret-Juni lalu, IHSG rebound sampai sempat menyentuh all-time highnya di 7900an pada pertengahan September. Dan setelah itu IHSG turun terus sampai 7000an pada saat tulisan ini ditulis. Apakah IHSG sudah mentok di 7000 tersebut? Dan bagaimana IHSG tahun depan?

Untuk tahu gambarannya, kita cek beberapa kondisi ekonomi saat ini.

1. Fed Rate

Saat ini suku bunga The Fed ada di sekitar 4,5-4,75%. The Fed baru saja mulai menurunkan suku bunga setelah era suku bunga tinggi sejak tahun 2022 lalu.

Fed Rate 1954-2024 (source: fred.stlouisfed.org)

Jadi sebelumnya kita perlu pahami kaitannya suku bunga The Fed, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi. Biar gampang dan singkat kita lihat sejak covid 2020 saja. Ketika pandemi Covid-19 dan dunia melakukan lock-down, aktivitas ekonomi sempat berhenti total walaupun beberapa bulan kemudian perlahan dibuka tetapi pergerakan manusia tetap dibatasi. Akibatnya uang tidak berputar, mungkin kalau kita masih ingat waktu itu banyak usaha yang tutup karena lock-down. Dan di US sendiri ekonomi sempat terkontraksi -28% pada Q2 2020.

Karena ekonomi tidak jalan tersebut, akhirnya The Fed dan para bank sentral global lainnya menurunkan suku bunga sampai ke level terendah, ditambah dengan insentif-insentif ekonomi lainnya agar ekonomi jalan lagi. Karena suku bunga rendah, para pengusaha berani ngutang ke bank untuk membuka kembali bisnisnya atau bahkan malah ekspansi. Begitu juga masyarakat juga mulai berani untuk ambil kredit properti ataupun konsumtif karena suku bunga yang sangat rendah tadi.

Jadi, ketika suku bunga rendah, ekonomi mulai bertumbuh, perputaran uang semakin cepat. Tapi perputaran uang yang cepat tadi, tidak bisa serta merta diikuti oleh peningkatan produksi barang karena untuk menaikkan produksi barang perlu waktu alias tidak bisa instan. Efeknya uang yang beredar semakin banyak, jumlah barang terbatas, maka akan terjadi kenaikan harga barang alias inflasi.

Singkat cerita, inflasi meningkat pesat. Apalagi ditambah kucuran insentif dari pemerintah waktu itu sehingga waktu itu semua orang punya banyak uang (easy money). Di US inflasi sempat mencapai angka 9% pada pertengahan tahun 2022, dan terakhir inflasi sebesar itu terjadi tahun 1970an. 

Karena inflasi mengkhawatirkan (jika dibiarkan harga barang-barang akan jadi sangat mahal dan pada akhirnya pendapatan masyarakat tidak mampu lagi menyamai harga barang-barang sehingga bisa terjadi krisis), The Fed mulai menaikkan suku bunga dengan cepat pada pertengahan 2022 hingga puncaknya mencapai 5,5% pada Juli 2023 dan angka tersebut bertahan sampai Agustus 2024 lalu. Karena suku bunga naik dengan cepat, inflasi perlahan mulai turun dan kembali ke level di bawah 3% pada Juli 2024, level yang dipandang cukup aman oleh US, sehingga The Fed pada September kemarin mulai menurunkan suku bunga lagi hingga sekarang berada di 4,75%.

Lalu siklus ekonomi pun akan berulang dari era suku bunga tinggi yang menekan pertumbuhan ekonomi, menuju era suku bunga rendah yang menyebabkan ekonomi ekspansif. Dan ketika suku bunga rendah, maka biasanya akan diikuti euforia di bursa saham.

Jadi kalau begitu sekarang US sudah on the track menuju suku bunga rendah lagi dong? Ekonomi akan expand dan bursa bakal to the moon? 

Sabar dulu, kita simak kondisi berikutnya...


2. Kemenangan Trump

Ya, Trump resmi diumumkan sebagai pemenang pemilu AS 2024 dan akan menjadi Presiden AS periode 2025-2029 mulai akhir Januari 2025 nanti. Apa efeknya kemenangan Trump ini? 

Trump menang Pemilu AS 2024 (source: BBC Indonesia)

Jadi, ketika Trump menjadi Presiden AS pada 2017-2021 lalu, ia terkenal dengan kebijakan proteksionisnya, kebijakan yang mengutamakan Paman Sam terlebih dahulu (America First). Ingat perang dagang pada masa tersebut? Itu salah satu efek kebijakan Trump ketika itu dimana ia menaikkan tarif impor masuk barang-barang dari luar AS, khususnya Cina karena produk Cina membanjiri pasar AS dan mulai mengalahkan industri lokal AS. Selain itu ia juga memberikan potongan pajak besar-besaran bagi para perusahaan dan individu serta memotong banyak regulasi untuk kemudahan usaha dan investasi. Efeknya ekonomi Amerika bertumbuh lebih cepat di masa Trump menjabat ketika itu. Dan Fed terpaksa harus menaikkan suku bunga untuk mengimbangi kenaikan inflasi.

Sudah kelihatan benang merahnya? Ya, jadi ketika Trump diumumkan menang pemilu 2024, muncul ekspektasi bahwa ekonomi Amerika akan ngegas lagi karena kebijakan-kebijakannya tersebut. Terlebih selama kampanyenya ia juga tampak ingin mengulangi lagi kebijakan "America First" itu. Sehingga mau gak mau rencana penurunan suku bunga oleh Fed bisa jadi tertunda dan kita tidak jadi memasuki era suku bunga rendah.

Jadi kita bisa memperkirakan bahwa Fed Rate bisa jadi batal turun, atau kalaupun turun jadi gak secepat perkiraan awal, bahkan bisa naik lagi karena pertumbuhan ekonomi AS. Selain itu karena ekspektasi tadi, AS menjadi tempat yang menarik bagi investor untuk menanamkan uangnya sehingga dollar AS menguat (bahkan dollar AS sudah langsung mulai menguat ketika Trump diumumkan menang).

Oke, lalu impactnya apa buat Indonesia?

Singkatnya, suku bunga BI juga biasanya mengikuti suku bunga Fed. Ketika kemarin Fed menaikkan suku bunga hingga 5,5%, maka BI mau tidak mau juga harus menaikkan suku bunganya hingga mencapai 6,25%. Kenapa? Agar Indonesia tetap menarik di mata investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Contoh, coba bayangkan Anda seorang investor asing, lalu menemukan penawaran Obligasi Pemerintah AS dengan suku bunga 5,5%, dan tawaran Obligasi RI dengan suku bunga 6%. Karena bunganya tidak jauh berbeda, Anda pasti akan lebih memilih membeli Obligasi AS, karena tentu risikonya akan lebih kecil di AS dibanding Indonesia. Efeknya modal asing akan keluar besar-besaran dari Indonesia, dan pada akhirnya melemahkan rupiah.

Nah, ketika akhirnya ternyata nanti Fed batal menurunkan suku bunga AS, maka BI juga tidak bisa menurunkan suku bunga lebih rendah lagi untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi karena alasan di atas sehingga kita akan tetap berada pada era suku bunga tinggi. Dan jika ini terjadi berlarut-larut, akan menyebabkan ekonomi Indonesia semakin tertekan, padahal sejak pertengahan tahun ini saja ekonomi RI terasa sudah semakin berat. Dan pada Q3 2024 kemarin, PDB RI pertama kalinya tumbuh di bawah 5% sejak tahun 2021.

Ekonomi Lesu. source: bisnis.com

Jadi sebenarnya dengan kemenangan Trump akan membuat BI berada dalam dilema, kalau BI memaksa menurunkan suku bunga maka akan memicu keluarnya modal asing secara besar-besaran dan juga melemahkan rupiah. Tapi jika menaikkan suku bunga untuk menarik investasi, maka ekonomi sudah kadung berat.

Oke, jadi apakah karena hal ini makanya nanti tahun 2025 terjadi crash?

Tunggu dulu, untuk mengetahui market crash, kita tidak bisa hanya tahu dari kedua indikator makro di atas. Indikator makro hanya dapat memberikan gambaran apakah cuaca ekonomi saat ini cerah, atau mendung. Hal ini karena antara krisis ekonomi dan market crash adalah dua hal yang bisa jadi berkaitan, dan bisa juga tidak.

Contoh yang berkaitan, misal market crash di AS tahun 2008-2009 yang disebabkan oleh mortgage crisis di AS. Ketika itu krisis dan crash saling berkaitan. Karena ada mortgage crisis maka Dow dkk crash. Tapi beda dengan IHSG ketika itu. Tidak ada krisis di Indonesia, tapi IHSG juga ikutan crash karena terseret kepanikan investor di AS.

Lalu contoh lagi market crash di AS karena Bubble Dot-com tahun 90an akhir hingga awal 2000an. Ketika itu tidak ada crisis di AS, hanya ada ekspektasi euforia market yang berlebihan terhadap saham-saham teknologi sehingga harganya melambung tinggi (bubble) dan akhirnya bubble tersebut pecah. Tapi pada periode tersebut di Indonesia juga terjadi market crash, yang disebabkan oleh krisis ekonomi.

Kalau berdasarkan historis market (and yes, market does rhyme), market crash kebanyakan terjadi apabila valuasi pasar dipandang terlalu mahal sehingga diperlukan koreksi (baik kecil sehingga disebut koreksi, maupun besar sehingga dapat disebut crash) untuk menyesuaikan kembali valuasi market dengan nilai intrinsiknya. Dan dalam beberapa kejadian, crash tersebut bisa dipicu oleh kekhawatiran karena cuaca ekonomi sedang mendung, alias ekonom memperkirakan akan terjadi krisis (walaupun belum tentu seperti contoh-contoh tadi).

Jadi, selain kondisi makro di atas, kita perlu melihat indikator-indikator valuasi pasar seperti berikut:

1. Market Cap to GDP Ratio

Ratio ini juga disebut dengan Buffett Indicator, yaitu indikator yang sering digunakan oleh Warren Buffett untuk mengetahui valuasi pasar saham AS dengan cara membandingkan seluruh market cap saham di AS dibandingkan dengan GDP (atau Produk Domestik Bruto kalau di Indonesia).
Market Cap to GDP Ratio (1970-2024) (source:www.longtermtrends.net) 

Biasanya nilai 100% dianggap fair, di bawah 100% maka marketnya dianggap murah, dan di atas 100% dianggap kemahalan. Per 2 Desember, ratio ini menyentuh nilai 207.74%, alias valuasi keseluruhan pasar saham di AS bernilai 2 kali lipat dibandingkan nilai GDP AS. Dan level ini belum pernah dicapai sebelumnya. Ketika bubble dot com tahun 90an akhir, ratio ini berada di angka 138%, dan ketika crisis 2008 berada di angka 105%.

Jadi level 207% sekarang menandakan overvaluation yang luar biasa terhadap harga-harga saham di AS. Mungkin karena ini juga Warren Buffett mulai menjual lebih dari setengah kepemilikan sahamnya di Apple dan menumpuk uang cash hingga senilai $350 miliar (alias 5.500 triliun rupiah / lima ribu lima ratus triliun rupiah) 😨

2. S&P 500 Price Earning Ratio

Oke, jadi sebenarnya kita gak harus menggunakan S&P 500, bisa saja menggunakan Dow Jones, ataupun Nasdaq. Tapi biar lebih mencerminkan kinerja keseluruhan sektor di AS, kita pilih S&P 500 saja. S&P 500 PE Ratio ini sebenarnya sama dengan PE Ratio sebuah perusahaaan, hanya saja yang ini menggunakan keseluruhan laba dari saham yang terdaftar di S&P lalu dibagi total market capnya. 

S&P 500 PE Ratio 1871-2024 (source: gurufocus.com)

Per Desember ini, PER S&P 500 ada di angka 30,73 kali. berada di atas +1σ nilainya secara historis dari tahun 1871. Nilai Ïƒ ini merupakan nilai deviasi standar rata-rata yang nilainya 19,27 alias rata-rata PE Rationya. +1σ maksudnya berarti satu deviasi standar di atas itu. Dan nilai PER ini berada di atas area +1σ hanya pernah terjadi 3 kali, yaitu ketika bubble dot-com, krisis properti, dan ketika euforia market sesaat setelah Covid kemarin. Jadi berdasarkan indikator ini valuasi saham-saham di sana juga sudah overvalued, melebihi batas-batas historis sebelumnya.


3. 10 Year vs 2 Year US Treasury Yield Curve

Dari kedua indikator valuasi di atas, tampak jelas bahwa harga-harga saham di AS sudah mulai bubble. Dan untuk indikator berikutnya, sebenarnya bukan merupakan indikator valuasi, tapi lebih seperti indikator untuk memprediksi terjadinya resesi.

Nama indikatornya cukup panjang, tapi intinya dalam indikator tersebut terdapat 2 variabel:

a. Yield Obligasi AS Tenor 10 Tahun
Maksudnya adalah tingkat return dari obligasi jangka panjang (10 tahun) yang diterbitkan oleh AS. 

b. Yield Obligasi Tenor 2 Tahun
Kalau ini tingkat return dari obligasi jangka pendek (2 tahun) yang diterbitkan oleh AS.

Idealnya ketika kondisi ekonomi normal atau suku bunga Fed rendah, obligasi jangka panjang memiliki tingkat return yang lebih besar dibandingkan obligasi jangka pendek. Tentu saja karena memegang obligasi 10 tahun pasti memiliki lebih banyak risiko dibandingkan obligasi jangka pendek sehingga kurang diminati (jika obligasi kurang diminati, maka yield obligasi tersebut berpotensi lebih tinggi, dan sebaliknya).

Nah, indikator ini membandingkan kedua kurva tersebut. Jadi jika ekonomi normal, maka kurva indikator ini akan berada di area positif, karena return obligasi 10Y lebih besar dari 2Y seperti yang disebutkan di atas. 

Lalu ketika Fed mulai menaikkan suku bunga maka yield obligasi 2 Y akan mulai naik karena bunga yang ditawarkan dalam obligasi yang baru akan lebih tinggi sehingga kurva mulai mengarah turun. Dan ketika era suku bunga tinggi berlangsung cukup lama akan membuat prospek ekonomi semakin melemah dan tidak menentu sehingga membuat investor memindahkan kembali obligasinya dari jangka pendek ke obligasi jangka panjang sebagai proteksi lindung nilai (dan karena banyak yang borong obligasi jangka panjang maka yieldnya akan turun).



Ketika yield obligasi jangka pendek ini naik terus (karena suku bunga tinggi dan peminat obligasi jangka pendek berkurang) sedang obligasi jangka panjang turun (karena pada pindah ke sini semua), maka kurva pada indikator ini akan mengarah turun, dan jika terjadi terus menerus akan sampai pada suatu titik ketika nilai yield obligasi 2Y lebih besar dari 10 Y yang disebut inverted yield curve (ketika kurva berada di area negatif seperti yang ditunjukkan panah merah).

Nah, inverted yield curve ini sering dianggap sebagai indikator resesi karena mencerminkan ekspektasi investor bahwa ekonomi semakin tidak jelas dan berpotensi terkontraksi di masa depan.

Dan secara historis, hampir semua resesi yang pernah terjadi di AS, selalu didahului oleh inverted yield curve ini sehingga kurva ini merupakan salah satu kurva paling ajaib dalam memperkirakan keadaan ekonomi ke depan.

Jika kita lihat kejadian inverted yield curve yang ditunjuk panah merah di atas, maka tidak lama setelah terjadinya kurva inverted akan terjadi resesi. Dan pada tahun 2023 lalu terjadi kurva inverted yang cukup dalam sampai per Desember ini kurvanya mulai menuju area positif lagi. Akan tetapi, krisis justru terjadi memang ketika kurva sudah berada di area positif lagi (perhatikan area yang diarsir abu-abu merupakan periode krisis terjadi)

Hal ini mudah dipahami, ketika suku bunga terus naik tinggi maka kurva perlahan akan menuju ke bawah hingga berada di area negatif. Fed biasanya mulai menurunkan suku bunga ketika inflasi mulai mereda dan ekonomi sudah terlihat mulai melambat. Akan tetapi Fed tidak bisa menurunkan suku bunga terlalu drastis, turunnya harus perlahan. Dan ketika suku bunga sudah rendah pun, impactnya terhadap ekonomi akan memiliki jeda waktu.

Oleh karena itu, Fed seperti seolah "selalu terlambat" dalam menurunkan suku bunga sehingga ekonomi sudah terlanjur kontraksi hebat.


Oke, jadi sekarang mari kita kaitkan masing-masing dari kondisi di atas:

1. Era suku bunga tinggi sejak tahun 2022, inflasi sudah turun dan ekonomi mulai melambat

2. The Fed mulai menurunkan suku bunga tapi belum banyak (dari 5,5% menjadi 4,75%)

3. Trump menang pemilu, dollar menguat, arus modal kembali masuk ke AS (termasuk modal asing terus keluar dari Indonesia). Penurunan suku bunga Fed kemungkinan terhambat. 

4. Ekonomi Indonesia melambat, dan BI dilema menurunkan suku bunga untuk menggenjot ekonomi  (kalau turun 25-50 basis poin masih mungkin akhir tahun ini atau awal tahun depan, tapi dengan angka segitu sepertinya belum akan membantu banyak). Terlebih jika ternyata Fed menaikkan suku bunga untuk mengimbangi inflasi setelah Trump menjabat, maka BI juga terpaksa harus menaikkan suku bunga yang akan menekan ekonomi Indonesia lebih lanjut.

5. Valuasi saham-saham di AS sedang bubble besar

6. Sudah terjadi inverted yield curve cukup dalam tahun lalu mengindikasikan potensi resesi.


Jika kita simpulkan lebih lanjut maka jelas ekonomi berpotensi resesi dan market di AS sedang bubble. Bahkan kalaupun ekonomi AS di tangan Trump mampu bertahan, bubble yang terjadi di AS tidak dapat diabaikan begitu saja karena bubble tersebut dapat pecah sewaktu-waktu (seperti yang disebutkan sebelumnya, bisa saja terjadi crash tanpa didahului oleh krisis). Dan jika ini terjadi di AS, IHSG juga akan terkena dampaknya.

Lalu kapan terjadinya crash tersebut? Sudah pasti tidak ada yang tau kapan terjadinya crash tersebut, bahkan investor paling sukses sekalipun. Karena kita bukan Tuhan. Tapi kalau mau agak ilmiah dikit, kita bisa menggunakan statistik untuk jarak rata-rata waktu dari inverted yield curve muncul sampai terjadinya krisis. Minta tolong ChatGPT saja untuk menghitungnya.


source: chatgpt

Kalau perhitungan GPT, rata-rata jarak waktu antara terjadinya inverted yield curve dengan resesi, berdasarkan historis di AS, yaitu 19-22 bulan. Jika kita terjadinya inverted yield curve terakhir pada Juli 2023, maka 19 bulan kemudian berarti jatuh pada bulan Februari 2025, dan 22 bulan kemudian yaitu bulan Mei 2025. Sehingga kemungkinan krisis berikutnya terjadi antara Q1-Q2 tahun 2025😨

Tapi tentu saja, tidak akan ada manusia yang tau pasti kapan terjadinya hal tersebut. Yang jelas kita perlu mempertimbangkan potensi terjadinya crash tahun depan (atau bahkan bisa saja crashnya tertunda). Jadi tidak ada salahnya kita berhati-hati dan menyiapkan ember (uang cash) untuk menampung saham-saham bagus yang berguguran ketika beneran terjadi, seperti yang dilakukan Warren Buffett yang sekarang sedang megang uang lima ribu lima ratus triliun rupiah (dan dia bisa kaya seperti sekarang karena melakukan hal seperti ini berulang kali sejak tahun 1950an).

No comments:

Post a Comment